Monday, June 25, 2012

Papah...Mei sayang Papah...

Aku tidak tahu lagi harus bercerita pada siapa, oleh karena itu, aku menulisnya setidaknya biar beban ini sedikit berkurang.

Hari-hari semakin terasa berat semenjak meninggalnya ibu, apalagi di tengah kota Jakarta yang keras dan tidak mengenal belas kasihan. Apalagi setelah bangkrutnya usaha papa di bidang percetakan, kami memulai hari-hari kami yang suram dengan penuh ketabahan dan rasa bersyukur bahwa setidaknya kami masih saling memiliki, ya…sekarang hanya tinggal aku dan papa yang harus berjuang hidup. Kami pindah dari kota Jakarta ke sebuah kota
kecil di jawa tengah untuk merintis hidup baru kami yang sederhana. Waktu itu usiaku masih 7 tahun, masih teramat kecil untuk memahami seluk beluk kehidupan, hanya saja sering aku merasa sedih karena ibu pergi begitu cepat meninggalkan kami. Sebuah rumah kecil di kontrak oleh papa yang sekarang tampaknya sangat menekuni hobi barunya, yaitu menulis. Di sela-sela kesibukannya mencari ide, papa membuka sebuah toko kelontong kecil-kecilan di rumah. Rumah ini sebenarnya sudah sangat sempit, hanya memiliki satu kamar yang kugunakan untuk tidur bersama papa, satu kamar mandi, satu dapur, dan selebihnya adalah ruang tamu yang menyatu dengan toko kelontong. Maklum sebagai warga keturunan Tiong Hwa kami diajarkan untuk tidak boleh menyerah apapun yang terjadi dalam hidup ini.
Hari-hari berjalan seperti biasa, Papa menyekolahkan aku di Sekolah dasar dekat rumah. Waktu itu, papa dengan setia merawat dan berjuang keras agar aku bisa sekolah dan terpenuhi sandang pangan. Papa memandikan dan mengantar aku ke sekolah setiap pagi. Tak jarang kami mandi bersama jika sore hari. Aku hanya ingat waktu itu, aku melihat sebuah daging panjang yang bergelantungan di pangkal paha papa, dengan rambut yang tak terlalu lebat di sekitar tempat menempelnya daging itu, serta 2 buah bola yang keriput dibawahnya. Tapi toh waktu itu aku masih kecil, tidak ada pikiran apapun yang melintas di benakku.
Waktu terus berjalan, usaha papa hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup kami sehari-hari.
Tetapi tak apalah, yang penting aku tahu papa telah berusaha keras untuk merawat aku. Itulah kenapa aku sangat menyayangi dan mengagumi papa. Bagiku, papa adalah malaikat, satu-satunya malaikat yang pernah ada dalam hidupku. Kami berdua hidup dalam rumah yang sederhana, tetapi dengan kebahagiaan yang istimewa.
Tak jarang aku sering kasihan melihat papa yang sendirian, apalagi usia papa yang masih teramat muda, 33 tahun. Ya, papa menikah dengan mama ketika usia mereka 20 tahun, dan sekarang, umurku sudah 12 tahun. Mereka memberiku nama Mei Li, yang artinya, gadis yang sangat cantik. Dan memang, kecantikan yang kuwarisi dari ibuku, banyak mengundang pujian dari saudara-saudara dan teman-temanku, Kulitku yang putih mulus, badanku yang ramping dan wajahku yang – kata orang – innocent plus mata sipitku yang membuat gemas banyak ibu-ibu disekitar rumahku. Namun ketika aku masuk SMP, papa sudah tidak pernah lagi memandikan aku, saat itu aku tidak tahu mengapa. Walau terkadang aku merengek-rengek minta dimandikan oleh papa, tetapi papa menolaknya. “Mei, kamu sudah besar, jangan terus tergantung pada papa, mandi saja harus dibantu, apa tidak malu” begitu katanya. Aku sedikit merasa sedih jika mengingat masa-masa itu, ketika kami bermain air bersama dan tertawa-tertawa.

Esoknya, papa membelikanku beberapa potong miniset dan menyuruhku memakainya. Mungkin papa tahu, di usiaku yang sekarang, payudara mungilku mulai terbentuk, walau masih setutup cangkir poci teh dan puting yang masih pucat kemerahan sebesar biji kedelai saja.. Memang tidak baik jika seorang papa harus memandikan anak kandungnya yang tubuhnya sudah mulai berkembang.
Waktu itu aku agak kebingungan memakai miniset, aku kembali merengek pada papa untuk memakaikannya, maklum pikiranku masih sangat polos waktu itu. Tetapi ayah menolak, katanya : “ya pakai aja seperti kamu biasa pakai kaos”
Akhirnya dengan manyun aku memakainya, terasa sangat tidak enak memakai miniset. Tetapi lambat laun, aku terbiasa juga.
Hal yang sama yang dilakukan papa dulu, ketika 2 hari pertamaku di SMP aku terkejut dengan keluarnya darah segar di celana dalamku.
Waktu aku lapor ke papa, papa hanya diam dan segera beranjak ke warung untuk membelikanku pembalut. Hanya saja waktu itu, papa sempat mengajariku bagaimana cara memakainya dengan memperagakannya dengan celana dalamnya sendiri. Aku selalu tertawa jika teringat waktu itu, walau dalam hati aku sangat bersyukur karena memiliki papa seperti dia yang rela melakukan segala sesuatunya demi puteri kandungnya.
4 hari kemudian, badanku panas tinggi, papa membawaku ke dokter dan dokter mendiagnosa aku terkena demam berdarah, aku harus dirawat selama hampir 1 minggu di rumah sakit.
Sepulangnya dari rumah sakit, papa lah yang merawatku, karena badanku masih sangat lemah. Dan terpaksa ayah menyibini aku. Papa terlihat sangat enggan ketika harus melepas bajuku satu persatu. Tetapi karena rasa sayangnya yang teramat besar padaku, papa akhirnya melakukannya. Waktu itu, aku tidak sedikitpun merasa malu, mungkin didukung oleh pemikiran bahwa ia adalah papaku sendiri, dan dulu kami sering mandi bersama disaat aku masih SD, lagipula aku sangat menyayangi papaku ini.
Akhirnya terlihatlah payudaraku yang baru tumbuh dan vaginaku yang belum ditumbuhi sehelai rambutpun oleh papa, papa menyibini aku dengan lembut dan menggosok sekujur tubuhku dengan handuk hangat. Tetapi terlihat betapa papa menghindari untuk terlalu lama mengelap bagian-bagian terlarang dari tubuh seorang wanita.
Aku hanya cekikikan karena kegelian.
Semakin hari, rasa sayangku kepada papa semakin bertambah.

Sampai suatu hari, seminggu kemudian, ketika aku pulang sekolah, aku melihat papa sedang tertidur pulas di dalam kamar. Dan tak sengaja mataku menatap televisi yang masih menyala, didalamnya ada adegan seorang laki-laki yang sedang berpelukan dengan wanita, dan kedua-duanya telanjang. Aku melihat daging panjang yang sama seperti yang dimiliki oleh papa, keluar masuk dalam lubang pipis si wanita. Sang wanita terlihat mendesah-desah keenakan, sementara si lelaki tak henti-hentinya berkata “I love you, I love you so much “
Badanku panas dingin, keringat timbul dengan derasnya dari pori-pori tubuhku, tenggorokanku terasa tercekat dan ngilu di sekitar gerahamku. Aku terduduk di pinggir ranjang yang biasanya kugunakan untuk tidur bersama papa.

Sekitar 15 menit aku hanya terdiam dan tak mampu berkata apa-apa. Seluruh tubuhku seperti lemas dan tak bertenaga, ada kedut-kedut kecil di balik celana dalamku yang perlahan membuatnya menjadi sedikit basah.
Tiba-tiba terdengar suara bentakan papa “ Mei Li, sedang apa kamu ! Keluar dari kamar cepat ! “
Aku yang terkejut segera keluar dari kamar, mungkin papa sendiri juga merasa menyesal kenapa dia sampai ketiduran saat menonton film dewasa.
Sekarang, jika kuingat-ingat lagi, aku sering merasa kasihan dengan papa, setelah bertahun-tahun tanpa ibu, mungkin ada beberapa gejolak sebagai seorang laki-laki yang tetap saja muncul ke permukaan. Namun aku tahu, papa memang seorang yang sangat baik, apalagi dia seorang yang cukup taat beribadah. Sehingga tidak mungkin baginya untuk melakukannya dengan wanita bayaran.
Malamnya, papa memanggilku. “Mei, kamu tahu apa yang kamu lihat tadi ?”

Aku hanya menggeleng. “Itu hanya dilakukan oleh 2 orang dewasa yang saling menyayangi satu sama lain, jadi kamu jangan sampai melakukan hal semacam itu “
”ya pa “ jawabku pelan. Walau jujur, dalam hatiku masih bertanya-tanya dan seringkali aku merinding jika membayangkan kembali apa yang terjadi dalam film itu.


Besoknya, ketika ayah sedang tiduran di kamar sambil membaca Koran, aku tiba-tiba datang dan langsung duduk di atas pahanya. “Pa, minta uang dong, buat beli dompet, Mei nggak punya dompet, padahal temen-temen pada punya”
Papa tampak cuek dan meneruskan membaca Koran menutupi wajahnya.
Aku merengek-rengek dan menghentak-hentakkan tubuhku diatas tubuh papa. Pangkal paha kami saling bertemu dan bergesekan tanpa sengaja. Dan anehnya, sedikit sedikit aku mulai merasakan hal yang sama ketika aku menonton film yang tempo hari tak sengaja kulihat. Ada kedutan kedutan kecil yang menyetrum kemaluanku ketika bersinggungan dengan gundukan daging di celana papa. Entah kenapa, aku merasakan sedikit demi sedikit nikmat dari pertemuan kedua pangkal paha kami. Aku, tanpa sadar terus merengek, sambil berpura-pura menghentak-hentakkan tubuhku diatas pinggul papa. Selama itu pula papa cuek bebek dan berpura-pura tidak mendengar. Dia terus membaca Koran. Perasaan nikmat itu semakin menjalar ketika kurasa gundukan itu semakin keras dan menggesek kemaluanku dengan lebih keras. Apalagi terbayang juga bentuk daging panjang yang dulu biasa kulihat ketika aku masih SD. Akhirnya, pada detik terakhirnya, seiring bertambah kerasnya rengekanku aku merasakan setrum ribuan watt mengaliri pinggulku, sebuah kilat yang tiba-tiba sekejap menyambar dan menghujaniku dengan ketegangan pinggul yang tak terbayangkan. Aku tanpa sadar menghentikan rengekanku dan mendesah dengan tubuh yang melengkung ke depan. Tubuhku terasa tegang, keringat dingin mengalir di sekujur tulang belakangku. Tanganku tanpa sadar mencengkeram buku pelajaran yang sedari tadi kubawa di tangan kananku. Di kemudian hari, barulah aku tahu, itu adalah orgasme pertamaku. Aku tidak tahu apakah papa mengetahuinya atau tidak bahwa aku mendapatkan orgasme pertamaku darinya. Karena saat itu, papa masih asyik membaca Koran. Hanya memang, kulihat gundukan yang terlihat semakin menonjol dibalik celana pendeknya ketika kugesekkan pangkal pahaku ke tubuhnya.
Setelah mengatur nafas sedemikian rupa, entah mengapa tiba-tiba perasaanku menjadi aneh. Aku sungguh-sungguh tidak tahu apa yang terjadi dalam diriku. Aku merasa syok dan sangat kebingungan dengan keadaan yang aku alami. Aku menghentikan rengekanku dan segera keluar dari kamar seraya berkata “Dasar, papa pelit” kilahku. Bersandiwara seakan tidak terjadi apa-apa. Waktu itu aku tidak tahu apa yang aku rasakan, tetapi ada sedikit rasa takut dan malu jika papa tahu apa yang baru saja kualami.
Ada perasaan yang asing menyeruak dalam diriku, seharian itu sikapku menjadi agak canggung bila berhadapan dengan papa. Sementara papa sendiri tampak biasa, seakan dia tidak tahu apa yang sedang dialami oleh puteri kandungnya.

kejadian pertama tersebut, tanpa kusadari, telah tertanam di benakku sedemikian rupa, sehingga dalam pikiran polos dan hati kecilku, timbul keinginan untuk merasakan perasaan yang sama seperti yang kualami pertama kalinya.
Seminggu kemudian, hal yang sama terulang kembali. Saat itu, ayah sedang membaca koran dengan posisi terlentang di tempat tidur tempat biasa kami tidur bersama, pada saat yang sama, melihat keadaan yang demikian, pemikiran ingin mengulangi hal yang dulu terus membayang di pikiranku. Tetapi aku masih takut. Jantungku berdebar dengan keras ketika aku menghampiri tubuh papa dan menindihnya seperti kejadian seminggu yang lalu, hanya kali ini aku berpura-pura memintanya mengajariku soal matematika. Dan seperti biasa, papa hanya berkata bahwa dia capek sekali karena sudah bekerja seharian ini seraya melanjutkan membaca koran.
"Ya sudah, kalau papah nda mau ngajarin Mei, Mei blajarnya disini aja ""ya terserah kamu, Mei, papa bener-bener capek sayang"
pelan-pelan aku menggoyangkan pinggulku sambil pura-pura membaca buku yang aku pegang, aku bersenandung sehingga terlihat seakan-akan gerakan tubuhku lebih diakibatkan karena aku mengikuti irama lagu yang kusenandungkan. Dengan perlahan dan ritme yang teratur, kugoyangkan pinggulku yang otomatis membuat kemaluanku tergesek oleh gundukan di celana papa.
Entah kenapa setiap kali aku melakukan hal itu, kurasakan gundukan di celana papa semakin mengeras. Ya aku bisa merasakannya, daging itu menjadi sangat keras dan panjang. Kugesekkan garis kemaluanku mengikuti alur daging panjang yang menggembung dengan hebatnya di bawah sana. Aku terus bersenandung, walau nafasku sedikit terasa lebih berat ketimbang biasanya. Kulihat ayah tetap seperti biasa membolak-balik koran yang dibacanya. Pinggulku ku maju mundurkan dengan sangat perlahan, seperti seorang penari yang melenggak-lenggok mengikuti irama. Terkadang pinggulku ku putar-putar seperti penyanyi di atas panggung yang menikmati lagu yang dia nyanyikan. Dan entah benar yang kudengar atau hanya bayanganku saja, untuk pertama kalinya aku mendengar papa sedikit menahan nafas. Aku terus berpura-pura menyanyikan lagu yang sengaja ritmenya kubuat lebih cepat dan lebih cepat lagi. Dan ketika tak sengaja aku melihat ke arah bawah, aku hampir terpekik melihat sekerat daging berwarna merah tua sedikit mengintip keluar dari garis celana pendek papa. Tetapi pemandangan itu membuatku semakin merasakan desiran-desiran aneh yang telah menguasai seluruh naluriku sebagai seorang wanita yang telah mengalami menstruasi. Ingin sekali aku menyentuh daging merah tua yang mengintip dan menggoda aku sedari tadi itu. Tetapi aku takut jika ayah menyadari apa yang sedang puterinya lakukan.
Setelah sedemikian lama, akhirnya aku merasa bahwa apa yang kutunggu-tunggu akhirnya datang juga. Kedutan-kedutan di sekitar pinggul dan sekeliling kemaluanku mulai terasa menghebat. Tanpa sadar, nyanyianku menjadi semakin lirih karena aku lebih berkonsentrasi dengan kenikmatan yang segera aku jemput sebentar lagi. Dengan suatu sentakan yang lembut, kutekankan pangkal pahaku ke gundukan keras itu. Dan pada akhirnya, aku tak mampu lagi berkata-kata, tak sadar dan tak peduli lagi, aku mendesah agak keras dengan diikuti oleh melengkungnya tulang punggungku serta pijakan kaki yang menekan ranjang dengan kuat. Mataku yang sipit sampai mendelik ketika orgasmeku tiba dengan tak terbendung lagi. Bersamaan dengan itu, kulihat ada semacam cairan putih kental keluar dari lubang yang ada di ujung daging merah yang mengintip di garis celana papa. Cairan itu sangat banyak dan meluber ke perut papa, mengisi pusarnya. Sebagian meleleh melalui pinggangnya dan jatuh ke ranjang. Nafasku sedikit terengah-engah dan dadaku berdegup kencang, keringat membasahi punggung baju dan leherku. Rasa lelah yang mencengkeram kedua kakiku dengan mendadak membuatku tak sempat lagi berpikir atau bertanya-tanya, apa kiranya cairan kental yang keluar dari ujung daging merah tersebut. Aku terdiam sejenak di atas tubuh papa, menikmati sisa-sisa kenikmatan dan lelah tubuh ini. Setelah beberapa saat, aku pura-pura hendak ke kamar mandi. Papa pun mengiyakan saja dengan suara berdehem lirih.


No comments:

Post a Comment