Kisahku kali ini terjadi belum lama ini di suatu Sabtu pagi. Ketika itu aku yang sedang sendirian di rumah dan tidak ada kegiatan, memulai hari dengan memanjakan diri di sofa ruang keluarga untuk melihat acara TV. Setelah aku pindah-pindah saluran TV ternyata tidak ada acara yang menarik, akhirnya aku memutuskan untuk tidur-tiduran saja di dalam kamarku. Rumah ini terasa sangat sepi pada saat-saat seperti ini. Maklum saja, biasanya rumahku selalu ramai oleh kedua orangtua maupun adik-adikku.
Sebagai seorang wanita, tentu aku selalu berusaha untuk merawat tubuh, baik dengan cara luluran di salon maupun di rumah. Apalagi pacarku sekarang menginginkan agar kulitku dapat lebih putih. Teman-temanku sering memuji wajahku yang awet muda dan tubuhku yang mungil tetapi proporsional.
Namun yang cukup membuatku risih adalah saat aku sedang memakai pakaian bebas, anak-anak SMU seringkali menggoda aku. Mungkin mereka mengira aku masih seusia dengan mereka atau setidaknya duduk di bangku kuliah. Tempat tinggalku saat ini terletak di daerah Cibubur yang menurutku masih memiliki suasana asri. Halaman rumahku memang tidak luas, namun di luar rumah banyak ditumbuhi pepohanan. Kamar tidurku mempunyai jendela yang berhadapan langsung dengan halaman luar.
Setelah beberapa menit merebahkan tubuhku, ternyata mata ini tidak mau terpejam. Selain aku memang tidak terbiasa tidur selain pada malam hari, udara pagi itu terasa cukup panas. Akhirnya aku memutuskan untuk SMS-an dengan pacarku saja. Baru beberapa kali SMS, terdengar suara berisik dari halaman depan rumahku. Aku bangkit dan melihat keluar. Kulihat dua anak berseragam SD sedang berusaha untuk memetik buah jambu di depan rumahku. Tentu saja aku sebagai pemilik rumah tidak senang perilaku mereka tersebut.
Sambil bertolak pinggang aku berteriak ke arah anak-anak itu “Hayooo…!! Kalian lagi pada ngapain?”
Tentu saja mereka berdua terkejut dan ketakutan karena tidak menyangka kalau ada orang yang melihat perbuatan mereka. Kedua anak itu menundukkan wajahnya karena menyesal. Aku yang tadi hendak marah akhirnya merasa iba.
“Nggak apa-apa kok Dik… Cuma harusnya kalian bilang dulu ke Kakak kalo mau minta jambu…” aku merendahkan nada bicaraku.
“Ma-maaf ya Kak… So-soalnya kami haus banget…” kata salah satu anak sambil mendekat ke arahku.
“Kami nyasar pas lagi nyari rumah temen kami Kak… Emmmm… Boleh nggak kami minta minum dulu sama Kakak?” sambungnya dengan nada memelas ketika sudah berada di depan pintu gerbangku.
“Aduh… Kasihan banget sih… Ayo masuk…!” jawabku mengiyakan.
Beberapa saat setelah aku membolehkan untuk memberinya minum, anak itu melambaikan tangannya ke arah temannya yang masih berdiri di dekat pohon jambu milikku. Dia mengajaknya untuk segera datang mendekati kami. Setelah beberapa langkah temannya berjalan mendekati kami berdua, aku mengajak kedua anak itu untuk masuk ke dalam dan mempersilakan mereka untuk duduk di ruang tamu.
Dari obrolanku dengan mereka, ternyata usia keduanya masih 11 tahun, dan mereka baru saja duduk di kelas 5 SD. Aku menanyakan nama mereka berdua, anak yang tadi meminta minum kepadaku, berkulit hitam dan berambut keriting mengaku bernama Gani. Sedangkan yang berkulit sawo matang dan berambut cepak bernama Edo. Keduanya memiliki badan yang kecil dan kurus. Mungkin tinggi badan mereka hanya sekitar 140 cm saja.
“Kok Adik-adik nggak sekolah hari ini?” tanyaku di sela obrolan dengan mereka.
“Udah pulang kok…” sahut Edo.
Aku kemudian melirik ke arah jam di HP-ku yang sudah menunjukkan pukul 11.00 siang.
“Oh udah pulang ya? Ya udah… Kakak mau siapin minuman dulu buat kalian yah…” kataku berpamitan.
“Iya Kak…” jawab mereka hampir bersamaan.
Kemudian aku tinggal mereka sebentar mereka ke dapur untuk mengambilkan minuman. Lumayan juga pikirku, aku jadi ada teman untuk ngobrol.
Belum juga aku sampai di dapur, terdengar suara Edo bertanya kepada temannya “Eh Gan… Emang elo ngomong apaan ke Kakak itu sampe ditawarin mimum?”
“Gue bilang aja ke Kakak itu kalo kita lagi nyari rumah temen. Terus kita nyasar deh…” jawab Gani yang disambut Edo dengan tertawa.
Tentu saja karena aku masih belum cukup jauh dari ruang tamu, maka aku dapat mendengar pembicaraan mereka berdua dengan sangat jelas. Apalagi ditambah suasana sekitar yang waktu itu sangat sepi.
“Huuuh… Dasar anak jaman sekarang… Masih kecil kok udah pada pinter bohong…!” umpatku kesal ketika mendengar percakapan mereka.
“Tapi nggak apa-apa lah… Namanya juga anak-anak…” aku menghibur diri lalu segera membuatkan mereka minuman.
Tidak lama kemudian aku kembali menuju ruang tamu dengan membawa sirup segar untuk mereka.
“Ada apa kok ribut-ribut sih? Kelamaan ya minumannya?” tanyaku pura-pura tidak tahu.
“Nggak apa-apa kok Kak…” jawab Edo berbohong sambil tersenyum tertahan.
“Oh iya… Kakak belum ngenalin diri… Panggil aja aku Kak Tita ya…” kataku memperkenalkan diri sambil menaruh minuman di meja.
Kaos longgar yang aku kenakan saat itu memiliki belahan dada yang rendah sehingga di saat aku membungkuk ketika menyajikan gelas kepada mereka semua. Anak-anak itu terlihat melongok-longokkan kepalanya untuk dapat melihat isi yang tersembunyi dibalik kaosku saat itu.
“Ini Kak Tita buatin kalian sirup rasa jeruk yang dingin supaya segar…” jelasku tanpa memperdulikan tingkah mereka.
“Makasih banyak ya Kak Tita! Pasti enak banget deh sirup bikinan Kakak…” jawab Gani.
“Sama-sama Gan. Aduh, ngomong-ngomong hari ini kok panas banget yah?” lanjutku.
“Iya Kak! Edo juga kegerahan nih. Untung Kak Tita baik banget mau ngasih minum ke kami…” jawab Edo.
Saat aku selesai menyajikan minuman, aku kembali berdiri tegak. Tanpa terasa keringat pun mengucur dari dahiku. Saat aku menyeka keringat di dahi, dengan tidak sadar tanganku terangkat tinggi. Tanpa sengaja, payudaraku sedikit terlihat dari lengan kaosku. Tentu saja kesempatan ini tidak disia-siakan oleh anak-anak itu yang terkesima melihat pemandangan indah tersebut.
Saat itu juga aku tersadarkan kalau dibalik pakaianku telah basah oleh keringat. Lebih memikat perhatian mereka lagi saat mereka tahu kalau aku tidak mengenakan bra pada saat itu. Kedua buah putingku tercetak di kaos putihku, apalagi karena basah oleh keringatku yang membuatnya semakin terlihat begitu jelas. Aku sendiri tidak ingin ambil pusing dengan tatapan nakal anak-anak ini.
Setelah aku mengambil posisi duduk di depan mereka, kami melanjutkan obrolan yang tadi sempat terhenti.
“Jadi kalian nyasar pas mau main ke rumah temen ya?” kataku memancing.
“Eeeh… I-ya Kak…” jawab Gani gugup.
“Emangnya kalian nggak punya alamat lengkapnya?” lanjutku lagi.
“Ng-nggak Kak… Cu-cuma tahu daerahnya aja…” kali ini Edo yang menjawab.
“Oh gitu…” kataku yang tidak berusaha menanyakan lebih jauh lagi tentang rumah ‘teman’ mereka dan mengalihkan ke topik lain.
Ketika ngobrol aku tahu mata-mata mereka sering mencuri pandang ke bagian dadaku. Aku berpikir, biar masih kecil yang namanya laki-laki itu sama saja. Semula aku tidak suka dengan perilaku mereka, namun akhirnya ada perasaan lain sehingga aku biarkan mata mereka menikmati keindahan putingku dari luar. Aku menjadi menikmati tingkah laku mereka kepada diriku.
Bahkan aku mempunyai pikiran yang lebih gila lagi untuk menggoda mereka, aku sengaja meregangkan tanganku ke belakang sehingga putingku pasti terlihat semakin jelas.
“Lagi pada ngeliatin apaan sih?” tanyaku berpura-pura.
Tentu saja pertanyaanku tadi membuat mereka menjadi semakin salah tingkah.
“Ng-nggak kok Kak Tita…” Gani membela diri.
“Ya udah Kalian habisin minumannya dulu ya. Kakak mau ganti baju dulu…” aku menahan diri untuk menggoda mereka lebih jauh.
“I-iya Kak…” jawab Gani lega.
Sambil tersenyum puas karena berhasil membuat mereka gugup, aku menuju ke arah kamar tidurku yang cukup dekat jaraknya dari ruang tamu. Di dalam kamar aku mengganti kaos longgarku dengan kaos ketat warna coklat tanpa memakai bra, sehingga putingku pasti semakin terlihat jelas dari luar. Kemudian celana selutut milikku, aku ganti dengan celana pendek warna hitam yang memperlihatkan paha mulusku.
Selang beberapa menit kemudian, aku sudah muncul kembali untuk menemui mereka. Namun satu hal yang membuat wajah polos mereka terkejut adalah melihat pakaianku yang minim, apalagi untuk ukuran anak seumuran mereka. Pemandangan ini pasti menyilaukan pandangan jiwa muda mereka berdua. Aku mengacuhkan saja pandangan mata-mata liar yang sibuk menatapi puting dan pahaku.
“Gimana sirupnya? Udah diminum belum?” tanyaku mengalihkan perhatian mereka.
“U-udah Kak…” jawab Gani pendek.
Kedua mata Gani tetap saja menatap tajam kearah pahaku yang pasti terlihat sangat menggiurkan baginya.
“Enak nggak sirup bikinan Kakak? Pasti bikin ketagihan kan?” candaku.
“Seger banget Kak! Tapi jujur aja kalo Gani lebih suka susu dibandingin sirup…” sahut Gani.
“Gitu yah? Sayang Kakak nggak ada persediaan susu di rumah…” jawabku tanpa ada prasangka buruk dari perkataan Gani.
“Kalau kata orang susu yang terbaik itu ASI ya Kak?” lanjutnya lagi.
“Betul Gan… Dibanding sama susu sapi… ASI itu jauh lebih bergizi…” tambahku penuh keyakinan.
“Ibu Gani juga suka bikinin susu setiap pagi Kak…” kata Gani menjelaskan.
“Oh ya? Bagus dong…” jawabku seadanya.
“Tapi susu yang saya minum setiap hari susu sapi Kak!” sambung Gani lagi.
“ASI tetap jauh lebih bagus daripada susu sapi Gan…” kataku.
“Wah… Pasti ASI rasanya enak tuh!” sela Edo cepat.
Aku hanya tersenyum simpul. Gani terus menyerocos tentang keinginannya sesekali mencoba ASI. Edo hanya tegang mendengarkan ocehan Gani, di terlihat takut sekali aku marah mendengarkan ocehan temannya yang mulai terasa kurang ajar itu.
Tiba-tiba entah mendapat ide gila dari mana Edo berkata ”Coba ya kami berdua bisa nyicipin ASI! Duh pasti asyik ya?” timpal Edo.
Namun belum lagi selesai kalimat yang diucapkannya, aku kembali menimpali “Dulu Gani sama Edo pasti udah sering minum ASI punya ibu kalian kan?”
“Tapi sekarang kami kan sudah nggak nyusu lagi sama Ibu. Lagipula kami juga udah lupa gimana rasanya minum ASI…” kata Edo yang terus berusaha menjelaskan.
“Hmmm… Gini aja… Kalo kalian punya adik yang masih minum ASI, pas ibu kalian lagi nyusuin minta tolong aja biar ASI-nya di peras terus masukin deh ke dalam gelas…” jawabku yang semakin mengerti arah pembicaraan mereka.
“Bukan itu maksud Edo Kak…” Edo menggelengkan kepalanya.
“Terus maksud kamu gimana Do?” pancingku.
“Edo pengen banget minum ASI punya Kakak…” kata Edo terus terang.
“Kakak kan belum punya anak… Jadi belum bisa punya ASI…” jelasku.
“Emang kenapa kalo belum punya ASI Kak?” tanya Edo lagi.
“Ya percuma aja dong… Kalian kan pengennya ngerasain ASI…” jawabku sambil menggosok-gosok rambut Edo dengan lembut.
“Nggak apa-apa Kak… Boleh kan?” pinta Gani sambil menatap wajahku.
“Yeeee…!! Bilang aja pengen lihat payudara Kakak…! Nggak mau ah…!” aku menolak permintaan mereka.
“Yaaa Kakak…! Kami cuma penasaran doang…” bujuk Edo.
“Aduuuh… Kakak nggak mau Edooo…!” kataku tetap bersikeras.
Namun setelah cukup lama mereka terus membujuk supaya dapat merasakan payudaraku dengan alasan penasaran, aku akhirnya menyerah juga.
“Ya udah deh Kakak mau. Tapi janji ya kalian nggak minta macam-macam lagi…” jawabku menyanggupi permintaan kedua anak yang sedang dilanda rasa penasaran ini.
“Pa-pasti Kak…!” kata mereka hampir bersamaan.
Terus terang saja pembicaraan kami tadi membuat gairahku semakin tinggi, sehingga aku semakin kehilangan kendali bahwa yang ada di depanku adalah anak-anak di bawah umur. Apalagi setelah melihat mata mereka yang tampak sangat menginginkan untuk menghisap payudaraku.
“Biar bagaimanapun kalian kan laki-laki dan berdua pula. Kakak takut juga sendirian di rumah dalam keadaan kosong seperti ini. Kalau tiba-tiba kalian minta lebih dari ini gimana?” kataku serius.
“Nggak Kak! Kami janji nggak akan minta yang macem-macem lagi deh…!” sambil berkata begitu mata mereka berdua tidak lepas dari payudaraku sambil menelan ludah berkali-kali.
Aku sadar tentunya mereka akan berkata apapun agar keinginan mereka terpenuhi saat itu. Mereka sudah tidak sabar menanti pemandangan indah itu sebentar lagi. Aku yang menyadari hal itu tersenyum-senyum sendiri melihat tingkah mereka berdua.
“Kalian sudah siap?” tanyaku menggoda.
“S-siap Kak!” jawab mereka serempak.
Jawaban mereka membuat aku semakin bergairah dan terangsang. Aku berpikiran hari ini aku akan mendapatkan sensasi dari anak-anak ini. Aku memang sudah pernah merasakan nikmat dari melakukan seks dengan anak di bawah umur, namun tentu saja anak-anak di depanku ini masih sangat muda.
Aku mulai mendekati mereka, kemudian dengan agak tergesa aku melepaskan kaos bagian atasku sehingga pemandangan yang mereka tunggu-tunggu pun datang sudah. Namun aku masih berusaha menutup payudara bagian kananku dengan tangan. Aku masih sangat penasaran apa yang akan dilakukan oleh kedua bocah bau kencur ini terhadap diriku.
Saat ini tubuhku hanya tertutup celana pendek ketat yang pasti membuatku tampak seksi sekali. Jantungku berdetak kencang sekali. Karena mereka adalah korban godaanku yang paling muda. Bagaimana tidak, mereka baru berumur 11 tahun. Jadi bisa dipastikan mereka masih anak-anak sekali. Kini payudara sebelah kiriku benar-benar terpampang di hadapan mereka tanpa terhalang apapun lagi.
“Dua-duanya dong Kak…!!” protes mereka berdua.
“Iiih buat apa? Hayoo kalian mulai nakal ya! Kalian sebenernya cuma mau lihat payudara Kakak aja kan? Dasar anak nakal…!” kataku dengan nada manja.
“Nggak kok Kak! Cuma kan kami ada dua orang, nanti kalo cuma satu yang dibuka gak akan cukup untuk kami…” kilah Gani.
“Kamu pinter banget berdebat sih! Iya deh, tapi janji kalian jangan pada liar ngeliat Kakak telanjang dada yah…” sambil berkata demikian aku menuruti kemauan mereka dengan membuka tangan yang menutupi payudara sebelah kanan.
“Tuh Kakak kasih liat…” jawabku sambil tersenyum manis.
Mereka berdua hanya diam tanpa melakukan apa-apa. Mata mereka melotot memandangi payudaraku. Tampaknya mereka masih bingung apa yang harus mereka lakukan.
“Kok malah bengong sih?” tanyaku dengan cuek.
“A-abisnya kami takut Kak…” jawab Edo dengan nada gemetar.
“Ayo dimulai dong Adik-adik…” aku menyadarkan mereka.
Mendengar kata-kata yang keluar dari mulutku tadi, Gani dan Edo yang memang sudah tidak sabar langsung meremas payudaraku. Tangan-tangan mereka menggerayangi payudaraku dengan tidak terkendali. Aku menjadi geli sendiri melihat tingkah mereka berdua.
“Jangan rebutan dong! Aaaaah… Gani yang ki… ri… Edo yang ka-kanan…” perintahku.
Nafsuku semakin meningkat akibat remasan tangan mereka. Sekarang Gani mulai mendekatkan bibirnya ke putingku lalu dengan cepat melumat payudaraku. Bahkan kini dia menghisap benda mungil tersebut dengan sangat keras sehingga membuatku semakin menikmatinya.
“Mmmmmhh… I-isepiin jugaaa dong Do biaaar Kakaak ngerasaaa enaaaak… Aaaaah…” bisikku kepada Edo ketika sedang memilin-milin putingku yang sudah menonjol karena terangsang.
Karena mendengar permintaan dariku serta menyaksikan temannya yang sudah lebih dulu menghisap payudaraku, Edo akhirnya juga ikut menikmati puting payudaraku dengan mulutnya. Mereka kini bagaikan dua orang bayi yang sedang kehausan, begitu cepat dan kuat melahap putingku.
Betapa seakan perasaanku sedang melayang ke awan, apalagi ketika mereka berdua menghisap secara bersamaan yang membuat nafasku menjadi tersengal-sengal. Aku juga baru sadar kalau ternyata selain mereka sibuk mengenyoti kedua payudaraku, tangan mereka pun ikut bergerilya mengelusi tubuhku yang mulus. Tadinya aku mau mengingatkan pada janji mereka sebelumnya agar tidak melakukan macam-macam lagi selain memegang atau pun menghisap payudaraku saja.
‘Sleeerrrpp… Sleeerrpp…’ terdengar suara payudaraku disedot-sedot dengan rakus oleh kedua anak ini.
Tanganku membelai, kadang agak sedikit menjambak sambil menekan kepala mereka berdua agar lebih dalam lagi menghisap payudaraku. Mereka semakin menikmati ‘mainan’ mereka, sedangkan aku semakin terhanyut dibuatnya. Aku sadar kalau ingin lebih dari sekedar ini. Aku semakin lupa diri bahwa mereka adalah anak-anak yang masih polos dan belum seharusnya melakukan perbuatan ini.
Ketika sedang nikmat-nikmatnya, tiba-tiba Edo melepaskan hisapannya sambil berkata “Biar tetek Kak Tita nggak keluar air susunya tapi rasanya tetep enak!!”
“Eeehhhmm… Hisaaapaaan kamuuu jugaaa enaaaakk Do! Aaaaaaaaah…” aku mendesah merasakan nikmat yang melanda payudaraku.
Tanpa menggubris perkataan temannya, Gani terlihat semakin lahap menikmati payudaraku. Seperti anak bayi yang sedang menyusu pada ibunya, mereka berdua melumat payudara itu dengan hisapan dan gigitan-gigitan ringan tapi sangat mengusik birahiku. Hal itu menyebabkan aku menggeliat-geliat dan mengeluarkan desahan. Perasaanku terombang-ambing dalam kenikmatan yang tidak bisa aku bendung lagi.
“Emmmmmpphh… Aaaaaaahhh…” aku terus mengerang sambil meremas kedua rambut anak-anak itu.
Hisapan kedua anak kecil ini pada putingku semakin menaikkan libidoku, walaupun di dalam hati aku tau ini memang belum sepantasnya dilakukan oleh mereka. Namun aku hanya bisa pasrah saja, tanganku meremas-remas rambut Edo dan Gani karena rasa geli akibat hisapan dan remasan tangan mereka pada payudaraku. Aku melihat jari-jari mereka menggesek-gesek putingku yang memanaskan birahiku.
“Mmmmhh… Remas pelan-pelan… Aaaaaaah…” kataku sambil memejamkan mata.
Tubuhku mulai melemas merasakan sensasi berbeda dari yang pernah aku lakukan sebelumnya. Akibat dirangsang seperti itu terus-menerus, akhirnya aku menginginkan mereka tidak hanya sekedar menghisap payudaraku saja.
“Gani… Edo.. Ber-berhenti dulu…” pintaku.
“Ada apa Kak?” Gani bertanya.
“Kita terusin di kamar aja yah. Di sini posisinya nggak enak…” jawabku.
Sebenarnya aku juga punya alasan lain, yaitu takut kalau tetanggaku bisa mendengar desahan maupun teriakan kami dari ruangan ini. Aku lalu berdiri menuju ke kamarku. Tentu saja mata mereka menatap penuh nafsu tubuhku yang hanya tinggal tertutup oleh celana pendek ketatku.
“Ayo ikut Kakak…” aku mengajak mereka berdua untuk masuk ke dalam kamar.
Seperti kerbau yang dicocok hidungnya, mereka mengikuti diriku. Sampai di dalam kamar aku duduk di sisi ranjang.
“Gani, Edo. Kalian udah pernah ciuman belum?” tanyaku yang hanya dijawab mereka dengan gelengan kepala.
Tanpa perlu menunggu terlalu lama lagi, aku pun memberikan pengalaman ciuman pertama untuk anak-anak tersebut. Tidak tanggung-tanggung, ciuman yang kuberikan bukanlah sekedar kecupan singkat, melainkan penuh dengan nafsu. Dengan bergantian, lidahku bertemu dengan lidah Gani dan Edo.
“Gani… Edo… Lepasin seragam kalian deh…” pintaku sambil tersenyum ke arah kedua bocah tersebut.
“Tapi Kak…” Edo tampak masih agak ragu.
“Sudahlah turutin aja. Kakak janji kalian akan merasakan nikmat…” aku menyahut.
Dengan malu-malu mereka mulai melepas baju dan celana mereka satu persatu. Tampaklah penis dari anak-anak itu yang sudah tampak tegang. Rambut kemaluan mereka belum tampak tumbuh sama sekali, sedangkan batang penisnya masih agak kecil, mungkin hanya sekitar 9-10 cm saja. Namun entah kenapa, melihat pemandangan seperti ini libidoku naik semakin tinggi.
“Hihihi… Kok punya kalian udah tegang banget sih?” godaku sehingga membuat wajah mereka memerah karena malu.
“Kak Tita curang…!!” kata Edo tiba-tiba.
“Curang bagaimana maksud kamu Do?” tanyaku.
“Kami berdua udah telanjang. Masa Kak Tita nggak ikutan telanjang sih?” Edo menjawab dengan wajah lugunya.
Aku hanya tersenyum mendengar perkataan polos dari Edo tadi. Namun setelah aku pikir, ternyata benar juga apa yang dikatakan olehnya. Aku kemudian bangkit dari dudukku, lalu celana pendek berikut celana dalam aku lepaskan. Sekarang kami bertiga sudah dalam keadaan telanjang bulat tanpa sehelai benang pun.
“Sekarang Kak Tita udah gak curang lagi kan?” aku bertanya kepada Edo.
“I-iya Kak…” jawab Edo singkat.
Sekarang tatapan mereka tertuju pada benda yang ada dibawah pusarku. Perasaanku campur aduk saat melihat mata anak-anak ini berbinar-binar takjub melihat vaginaku. Aku pun bisa mendengar suara mereka sedang menelan ludah. Pasti ini adalah pengalaman pertama bagi mereka dapat melihat vagina seorang wanita yang lebih dewasa.
Mereka berdua tampak gugup sekaligus senang melihatnya. Sementara jantungku berdegup kencang sekali saat mengingat bahwa yang sedang mengamati vaginaku dengan seksama ini adalah anak-anak kecil. Vaginaku yang masih rapat dan dalam keadaan tanpa bulu sedikit pun, sangat menarik perhatian mereka. Kemudian aku duduk kembali di ranjang lalu menaikkan kakiku dan mengangkangkannya. Vaginaku sekarang dalam keadaan terbuka lebar dan tentu saja semakin terlihat bagian dalamnya. Mereka mendekat ke arahku dan memperhatikan vaginaku dengan wajah penasaran.
“Ini namanya vagina, lain dengan punya kalian…” aku menerangkan ke mereka layaknya seorang guru biologi.
“Ooo… Ini yah yang namanya vagina…” kata Edo sambil manggut-manggut.
“Iya… Kalian berdua lahir dari sini…” lanjutku.
“Kok wangi banget sih Kak?” tanya Gani sambil mengendus kemaluanku walaupun masih dari jarak yang cukup jauh.
“Biar bersih harus dirawat terus… Tiap perempuan yang udah dewasa juga pasti ngerawat vaginanya kok…” aku terus berusaha membuat kedua anak ini lebih mengerti lagi mengenai bagian dari tubuh wanita.
Tanpa perlu aku suruh tangan mereka kini mulai mengelus-elus bagian di sekitar kemaluanku. Sentuhan mereka ini terasa nikmat sekali. Jari-jari kecil milik Gani sudah masuk ke lobang vaginaku dan bermain-main di dalamnya. Tentu saja hal ini membuat cairan vaginaku mulai tampak membanjiri bibir luarnya.
“Sssssshhh…” mulutku mulai mengeluarkan suara desisan ketika jari Gani menyentuh daging kecil di dalam vaginaku.
Selanjutnya seperti layaknya seorang pria yang sudah berpengalaman, Gani membenamkan wajahnya pada vaginaku lalu dengan rakus menjilatinya. Lidah kecil itu menyapu bibir vaginaku sampai aku menggeliat-geliat dan mendesah nikmat. Gani kelihatan sangat menikmati cairan kewanitaan yang terus keluar dari vaginaku itu.
“Aaaahhh… Gaaann!! Teruuuusss…” aku mendesah menikmati saat lidah Gani menelusuri gundukan bukit kemaluanku.
Tanpa disadari kakiku semakin melebar sehingga memberi ruang lebih luas bagi Gani untuk menjilati vaginaku. Tubuhku seperti terkena aliran listrik ketika lidah Gani yang hangat membelah bibir kemaluanku dan memasuki liangnya serta menari-nari di dalamnya.
“Aaaaahhh… Ooooohh…” desahku dengan tubuh bergetar merasakan lidah Gani memainkan klitorisku.
Sementara Edo kelihatannya lebih tertarik dengan kemulusan kakiku yang memang sangat terawat.
“Paha Kak Tita mulus banget deh!! Mana putih lagi…” celoteh Edo sambil memegang pahaku.
“Dielus dong Do…” ucapku setengah mendesah.
Tentu saja mendengar kalimatku barusan tangan Edo mulai berani untuk mengelus-elus pahaku. Tidak lama kemudian paha tersebut mulai dia jilati dengan penuh nafsu, sementara tangannya juga ikut aktif mengelusi bagian dalamnya. Aku hanya bisa pasrah membiarkan kenikmatan ini berlangsung. Aku merinding merasakan sapuan lidah dan dengusan nafas Edo pada kulit pahaku.
“Aa-aduh… Eee.. nak.. banget! Terr.. us… Aaaahh…” aku terus merintih menikmati perlakuan anak-anak ini.
Sungguh mereka memberiku kenikmatan yang hebat. Aku hanya bisa menggigit bibir bawahku tanpa bisa berkata-kata hanya rintihan dan nafas yang tersengal-sengal. Setelah agak lama mereka memainkan vagina beserta pahaku, akhirnya aku mendorong mereka lalu bangkit dan menghampiri mereka yang berdiri di tepi ranjang.
Aku berjongkok dihadapan mereka sambil kedua tanganku memegang diiringi dengan remasan-remasan kecil pada penis mereka. Aku mendekatkan wajahku pada penis Gani, kemudian aku kulum dan jilati kepala penis muda ini. Karena penis Gani ukurannya termasuk kecil, maka aku dapat memasukkan seluruh batang penis itu ke dalam mulutku lalu menghisapnya dengan gerakan maju mundur. Mungkin karena Gani sangat menikmatinya, tanpa sadar tangannya mencengkeram erat kepalaku. Sementara itu, tanganku yang satu mengocok-kocok penis Edo.
“Kak Titaaa… Akuuu… Ma-mau… Kenciiiing…” Gani merintih.
Tampaknya anak ini akan mencapai orgasme. Namun tentu saja aku tidak akan membiarkan hal ini terjadi karena aku masih ingin permainan ini berlanjut lebih lama. Kemudian aku beralih pada penis Edo. Tampak penis ini sedikit lebih besar dari kepunyaan Gani. Aku mulai menjilati penisnya dari pangkal sampai pada ujungnya, lidahku menari di kepala penis Edo. Aku jilat-jilat pelan lubang kencing Edo kemudian aku masukkan seluruh batang penisnya. Sama seperti Gani, Edo juga menjambak rambutku dengan kencang ketika aku semakin mempercepat kulumanku.
“Kaaaaakkk… A-aku… Ju… ga… Mauuu… kencing niiiih!” Edo berteriak kencang.
Aku menghentikan kulumanku pada penis mereka berdua, kemudian aku bergerak naik ke atas ranjang lalu mengangkangkan kakiku dengan lebar sehingga membuat vaginaku terlihat jelas oleh mereka.
“Siapa duluan yang mau tititnya dimasukin ke sini?” aku berkata sambil tanganku menunjuk ke lubang vaginaku yang sudah nampak basah oleh cairanku sendiri.
Mereka saling berpandangan lalu mulai berdiskusi. Akhirnya Gani duluan yang akan menusukku. Gani naik ke atas ranjang dan mengangkangi kakiku lebih lebar. Tampak penisnya yang sudah tegang dan mengkilat siap menusuk lubang vagina wanita yang lebih pantas menjadi kakaknya. Aku menuntun penis Gani untuk masuk ke lubang kenikmatanku. Aku membiarkan pria muda ini melepas keperjakaannya oleh vaginaku. Dan ‘bleeess’, batang penis Gani pun amblas seluruhnya ke dalam vaginaku.
“Aaaaaaaah Ganiii…” aku mendesis.
“Masukin… Le-lebih… Dalam lagi!!” perintahku.
“I-iyaaaa Kak!!” jawab Gani.
Yang dapat aku lakukan sekarang hanya mendesah sambil menggigit bibir bagian bawahku. Tampaknya Gani cepat memahami perkataanku, dia memompa vaginaku dengan seksama. Genjotannya semakin lama semakin cepat. Edo yang menunggu giliran hanya tertegun dengan permainan kami. Genjotan Gani kian cepat aku imbangi dengan goyanganku.
“Aaaaaaahh… Lebiiiih cepeeettt Gan!! Aaaaaaah… Aaaaaaahhhhh…” erangku.
Setelah sekitar 10 menit dalam posisi yang sama, Gani semakin mendesah dan menjerit dengan kuat, karena kali ini penisnya benar-benar aku jepit dengan kuat sehingga pasti memberikan dampak yang sangat nikmat.
“Rasanyaa enaaaak bangeeeettt Kaaak…!!” Gani terus mendesah.
“Aaaaaaahhh… Aaaahhh… Teruuusss Gaaan…!!” aku juga mendesah lebih kuat lagi dari sebelumnya karena merasakan penis Gani semakin cepat dan kuat menusukku.
Tampaknya hal ini membuat Gani tidak kuat lagi menahan sperma yang akan keluar. Beberapa saat kemudian tubuh Gani mulai mengejang hebat dan seluruh badannya bergetar.
“Aduh Kak… E-enaaaak…!! Ssssshhh… Tapi Gani udaaah nggak tahan pengeeen kenciiiiing…” desahnya.
“Aaaaaah… Keluariiiin di dalam ajaaaa Gaaan…!” kataku yang mengerti maksud perkataan Gani.
Kakiku aku lipat menahan pantat Gani karena tidak ingin penisnya keluar dari vaginaku sedikitpun. Tidak lama dia merangkul erat tubuhku dan ‘creeeet… creeeet…’ cairan hangat membanjiri liang kewanitaanku. Gani terkulai lemas diatas tubuhku, butiran-butiran keringat keluar dari sekujur tubuhnya.
“Gimana Gan? Enak gak barusan?” tanyaku begitu Gani mencabut penisnya yang sudah agak mengempis dan terkapar lemas disampingku.
“Enaaaak bangeettt Kak….!! Gani baru pernah ngerasain yang kayak ginian…” Gani berkata dengan penuh kepuasan.
“Itu tadi namanya orgasme. Kalau udah sampai di puncak kenikmatan ya kayak gitu rasanya” aku berusaha menjelaskan.
“Oohh… Jadi waktu orgasme Gani ngeluarin air kencing kayak tadi itu ya Kak?” tanyanya polos.
“Gani, Edo. Yang tadi keluar itu bukan air kencing, melainkan sperma. Itu adalah cairan yang keluar ketika laki-laki mencapai orgasme…” aku berusaha menerangkan dengan kata-kata yang mudah dicerna oleh anak seusia mereka.
Mereka berdua hanya diam saja sambil mengangguk-anggukan kepala. Mungkin mereka bingung mau bertanya apa lagi kepadaku.
“Ya udah. Sekarang giliran kamu yah Do…” aku berkata kepada Edo.
“Sekarang kamu tusuk vagina Kakak dari belakang yah…” aku memberi arahan kepadanya.
Kemudian aku mengambil posisi menungging sehingga vaginaku pada posisi yang menantang. Edo naik ke atas ranjang dan bersiap menusuk dari belakang. Dan penis Edo mulai memasuki lubang kenikmatanku yang seharusnya belum boleh dia rasakan.
Tampaknya Edo sudah bisa menggerakkan tubuhnya dengan benar, mungkin dia belajar dari melihat permainan Gani denganku sebelumnya. Edo menggerakkan maju mundur pantatnya. Aku sambut gerakannya dengan ikut menggoyang pinggulku. Semakin lama gerakan Edo semakin cepat dan tampaknya puncak kenikmatan akan segera diraih oleh anak ini.
“Edo udah mau keluaaaar Kaaak…!!” tanya Edo sambil terus menggenjot vaginaku.
“Ahhhhhhhhhh… Kakak juga mau keluaaaar Do…!! Kita keluariiiin samaaaa-samaaa yaaaahh…” teriakku kencang.
“Enaaaaaaaak bangeeet Kaaak…!!!” Edo berteriak nikmat sambil memeluk erat tubuhku dari belakang ketika spermanya menyemprot deras vaginaku.
“Kakaaaaak jugaaaa… Aaaaaaaaaaahhhhh… Sssssshhhhhhhhhh…” desahan nikmat keluar dari mulutku saat mencapai orgasme untuk pertama kalinya.
Lubang vaginaku terasa hangat setelah diisi sperma kedua anak ini. Edo kemudian terkapar disampingku. Aku hanya dapat menatap kedua anak itu dengan perasaan setengah tidak percaya bahwa aku baru saja bersetubuh dengan mereka. Walaupun aku hanya mendapatkan orgasme sekali saja, namun sensasi yang aku dapatkan membuat aku sangat puas. Aku bangkit dan berjalan ke dapur tanpa berpakaian untuk membuatkan sirup dingin, agar tenaga mereka pulih. Setelah berpakaian dan selesai minum mereka minta ijin untuk pulang.
“Gani, Edo. Kalian jangan cerita kepada siapa-siapa tentang semua ini yah. Kalian boleh minta lagi sama Kakak kapan saja, asalkan waktu dan tempatnya memungkinkan…” aku berkata sambil mencium pipi kedua anak itu.
“Iya Kak…!” sahut mereka hampir bersamaan.
Setelah mereka berdua pergi, satu sisi diriku bertanya-tanya, mengapa aku bisa bertindak seperti ini. Namun sisi lain diriku merasa puas karena berhasil menggoda dua orang anak yang masih polos. Aku juga sangat menikmati menggunakan tubuhku untuk merangsang dan menguasai kedua anak tersebut. Aku juga senang bisa membuat keduanya lepas kendali dan jatuh dalam pelukan birahiku.
Walaupun sampai saat ini aku tidak pernah melihat keberadaan mereka lagi, namun aku tidak akan dapat melupakan kedua anak yang sudah memberikan kepuasan serta sensasi yang berbeda kepada diriku.
- Tamat -
No comments:
Post a Comment